Info : JILI maintenance sampai info lebih lanjut
PEGASUS, dalam dongeng Yunani kuno, adalah seekor kuda terbang, yang sanggup menjelajahi langit. Dia memiliki tubuh yang perkasa, dan sepasang sayap yang kukuh. Diam-diam, Pegasus generasi mutakhir akan lahir kembali dari bengkel perusahaan pesawat terbang Hercules Aerospace Co., yang berpangkalan di Clearfield, Utah, Amerika. Kuda terbang yang akan muncul ini adalah nama sejenis roket, untuk mengantar satelit komunikasi ke orbitnya. Uji coba pertama atas kemampuan kuda terbang ini akan dilaksanakan di atas padang pasir California, Agustus nanti. Sebagaimana Pegasus yang asli, kuda terbang buatan pabrik ini punya sayap lebar, berbentuk delta, yang sulit dijumpai pada roket jenis lain. Keistimewaan lainnya, Pegasus tidak diluncurkan dari permukaan tanah (groundbase), melainkan dilepaskan dari ketiak pesawat pengebom raksasa B-52, dari ketinggian sekitar 13 km. Kuda terbang dari Clearfield ini garis tengahnya hanya sekitar 1,2 meter, dengan panjang tak lebih dari 12 meter. Tubuhnya bersusun tiga (terdiri dari 3 ruas), dengan tiga buah motor yang berbahan bakar propelan padat. Pada ujung belakang terdapat tiga sirip kendali. Keseluruhan rancang bangun kuda terbang ini dikerjakan oleh para ahli dari Orbital Sciences Co., sebuah perusahaaan perancang wahana angkasa dari Fairfax, Virginia, bersama ahli-ahli dari Hercules. Satelit yang menjadi muatan Pegasus itu ditempatkan pada sebuah ruang yang ada di kepala roket. Melihat ruang yang tersedia, mudah ditebak, satelit-satelit yang bisa dibawa oleh kuda terbang itu adalah satelit komunikasi mini, yang bidang liputannya sempit, dengan orbit rendah, antara 200 dan 300 km. Satelit kelas nyamuk ini kini banyak dibutuhkan untuk wahana komunikasi militer atau riset. Selama ini satelit-satelit mini macam itu memang jarang diluncurkan. "Kendalanya terletak pada ongkos peluncuran, yang jauh lebih mahal daripada harga satelitnya," ujar Dr. Antonio L. Ellias, Direktur Teknik Orbital Sciences. Jadi, orang akan berpikir dulu sepuluh kali sebelum meluncurkan satelit mini yang beratnya hanya belasan kilogram itu. Pegasus memang sengaja dibuat untuk program peluncuran satelit yang murahmeriah. Dengan memanggul berat beban yang sama, roket model kuda terbang itu hanya memerlukan bahan bakar propelan sebanyak 50% dibanding bahan bakar yang dibutuhkan roket konvensional, yang selalu minta diluncurkan dari ground base. Harap pula diketahui, hingga saat ini, fasilitas peluncuran roket itu jumlahnya sangat terbatas. Di pihak lain, Pegasus ini bisa diluncurkan dari lapangan terbang mana pun, sebatas pesawat B-52 bisa lepas landas. Ground base bukan lagi jadi persyaratan. Ini bisa memangkas jarak tempuh roket. Ambillah contoh, misalnya, untuk menempatkan satelit mini pada orbit stasioner di atas Riau, maka peluncurannya bisa dilakukan B-52 yang lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta atau Halim. Masih sejalan dengan moto "murah meriah" itu, para perancang mengatur agar kuda terbang bisa diluncurkan cukup dengan pesawat B-52, bukan Boeing 747-400 atau DC-10. Dengan memanfaatkan pesawat veteran Perang Korea, yang rata-rata kini berusia di atas 36 tahun, ongkos penerbangannya pun akan lebih murah. Inilah bentuk insentif yang lain. Pembuatan roket Pegasus ini terhitung cepat. Tempo penggarapannya hanya 2,5 tahun. Hebatnya, para perancang kuda terbang itu tak merasa perlu membuat modelnya dulu, dalam skala kecil, untuk diuji dalam terowongan angin. Pengujian atas keandalan rancang bangun, kekuatan material, dan kemampuan bahan bakar propelan hanya dilakukan lewat simulasi komputer. Pengujian simulasi itu pun dilakukan dengan meminjam fasilitas komputer NASA di Mountain View, California. Untuk keperluan itu, para perancangnya menggunakan perangkat lunak canggih yang disebut Computational Fluid Dynamics (CFD). Program ini bisa menunjukkan pola gerakan udara di sekitar tubuh roket, dan bagaimana pula perilaku Pegasus itu selama melewati lapisan atmosfer. Uji coba di layar komputer itu menunjukkan, segala sesuatunya telah tergarap dengan rapi. Daya dorong roket memadai. Kulit roket, yang terbuat dari anyaman serat karbon, juga tak melahirkan problem. Anyaman serat sintetis yang disusun berlapis-lapis itu sedikit pun tak lecet terkena gesekan udara, bahkan ketika roket melesat dengan kecepatan maksimumnya: 10.000 km per jam. Sayap delta pada Pegasus pun, menurut uji coba di layar komputer, tak mengecewakan. "Sayap itu bisa membangkitkan gaya angkat yang besar, tanpa menggeser roket dari lintasan yang telah ditentukan," tutur Antonio. Pokoknya, "Sayap delta itu membuat dorongan roket lebih efisien," tambahnya. Sayap delta itu melekat pada ruang pertama. Setelah propelan di situ habis terbakar, batang ruas itu pun lepas dan hancur. Begitu pula dengan ruas kedua dan ketiga, masing-masing akan tanggal setelah bahan bakarnya terkuras. Hilangnya sirip kendali di ruas pertama tak berarti gerakan roket tak bisa dikontrol. Perannya bisa digantikan oleh cerobong-cerobong kecil, yang terdapat di sekeliling ruas kedua dan ketiga. Cerobong itu akan mengembuskan asap untuk menghasilkan dorongan manuver. Setelah percobaan nanti, Pegasus akan melayani order peluncuran satelit mini dari DARPA (Defense Advanced Research Projects Agency), lembaga riset di bawah Pentagon. Pegasus dihargai Rp 10 milyar untuk setiap peluncuran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini